Saturday, December 29, 2012

Ketika Cahaya Masih Ada

Terik panas matahari siang itu tak membuat remaja berusia 13 tahun putus asa, ia begitu percaya diri dan begitu yakin bahwa hari itu ia akan mendapatkan keberuntungan. Langkah kaki yang begitu semangat memberikan cerita baru bagi sebagian anak jalanan yang ada di Mataram. Kisah ini kisah seorang anak jalanan yang memiliki semangat yang tinggi untuk meraih cita-cita berbagai rintangan ia lewati dengan rasa syukur. Menjadi seorang anak  remaja yang tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki orang tua membuat remaja itu harus mampu untuk menanggung segala penderitaan hidup yang dialaminya. Sebut saja nama remaja itu Shandi. Shandi yang setiap harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, membuat dirinya harus siap untuk menerima segala resiko yang akan terjadi. Karena setiap hidup manusia memiliki tantangan masing-masing. Dan ini adalah tantangan hidup seorang anak jalanan yang seharusnya mereka merasakan kasih sayang orang tua akan tetapi mereka merasakan begitu kejamnya dunia.
Setiap harinya Shandi ditemani oleh teman akrabnya yaitu sebuah gitar tua, gitar itu ia dapatkan dari seorang temanya. Bagi Shandi gitar tua itu sangat berarti karena dengan gitar itu ia mampu untuk makan setiap harinya. Apalah daya tangan tak sampai. Keinginan Shandi untuk melanjutkan sekolah tak mampu ia wujudkan, karena terhalang oleh keadaan yang ada. Remaja yang berusia 13 tahun harusnya dapat mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, hanya impian belaka. Jangankan mengenyam pendidikan, biaya untuk makan saja masih sangat sulit. Matahari itu membuat suasana jalanan semakin panas ditambah dengan polusi udara yang tak terkendali, mobil dan motor melewati jalanan yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlah motor dan mobil dengan desaign yang begitu modern.
“ Hai.. Shandi, kau akan ngamen dimana lagi sekarang?”tiba-tiba seseorang menghampiri Shandi dengan gaya punk, yang tak lain teman seperjuangan Shandi yang bernama Tino.
“ Tak tau lagi aku harus kemana, semua jalanan telah kujajali namun hanya sedikit orang yang peduli, mereka tak mengetahui betapa pilunya kita yang setiap hari mencari rezeki hanya dengan kemampuan seadanya”, tutur Shandi dengan wajah sedih.
“ Sudahlah kawan hadapilah, ini tantangan buat kita, setiap manusia tak selamanya sama kehidupannya adakalanya manusia diatas dan adakalanya pula manusia dibawah, terimalah dengan rasa syukur atas anugrah Tuhan” sahut Tino dengan bijak.
“ Iya kawan aku mengerti, tak apalah kita seperti ini, suatu hari nanti kita pasti akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, selama kita terus bersyukur atas anugrah Tuhan” jawab Shandi.
“Iya sudah kawan, kalau begitu aku mau menjajakan koran ini kembali kepada para pengguna jalan, kau hati-hati ya” tungkas Tino.
“ Iya kawan, terima kasih atas kebaikanmu, aku juga akan pergi dengan sahabatku ini, gitar tua yang selama ini menemaniku kemanapun kakiku melangkah” Shandi mengakhiri percakapan pada siang itu.
Kemudian Shandi melanjutkan pekerjaanya sebagai seorang pengamen, tepat pada saat itu lampu lalu lintas menunjukan tanda merah seketika itu pula ia melangkahkan kakinya dengan cepat berharap saat itu ia memperoleh hasil yang cukup untuk makan pada malam harinya. Langkah yang begitu cepat dengan dilapisi sandal jepit yang sudah bolong, tak membuat Shandi putus asa untuk terus mencari rezeki pada siang itu. Pertama didatanginya mobil yang berada tepat didepan lampu merah tersebut, dan Shandi pun bernyanyi sambil memetik gitar tuanya. Tak disangka ketika ia mengulurkan tanganya ternyata pemilik mobil itu tak memberikan uang sedikit pun, dan Shandi melihat didalam mobil itu terdapat anak yang seumuran dengan dia, anak itu sedang asik memegang ipad sambil mendengarkan musik. Ironis memang, keadaan itu membuat Shandi semakin sedih, padahal Shandi hanya ingin mencari uang untuk makan malam saja, tak apalah mereka memberinya uang hanya Rp 500,00 atau berapa pun mereka ikhlas, akan tetapi hal tersebut tak terjadi. Shandi tak mendapatkan sepeser uang pun dari pengguna mobil tersebut. Namun hal tersebut tak membuat semangatnya turun, ia semakin bersemangat lagi untuk mengais rezeki. Kemudian Shandi pun menunggu lampu merah selanjutnya, seperti biasa ia menyanyikan lagu anak jalanan. Namun kali ini berbeda, kali ini ia mendapatkan rezeki walaupun hanya Rp. 500,00 ia sudah sangat bersyukur.
Tak terasa adzan dzuhur berkumandang menandakan waktu sholat, kebetulan lampu merah itu sangat dekat dengan masjid, seketika itu juga Shandi berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Shandi berjalan menuju tempat wudhu dan langsung mengambil air wudhu kemudian melaksanakan sholat. Dalam doa Shandi merasakan syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan. Kemudian Shandi melangkah kan kakinya kembali untuk mencari rezeki, dengan perasaan tenang. Langkah kakinya semakin memberikan cerita baru bagi seorang anak jalanan yang menjalani hidupnya dengan mandiri. Perutnya telah berbunyi menandakan ia sangat lapar karena dari pagi ia tak pernah merasakan sesuap nasi. Dirabanya kantung celananya mengharapkan uang hasil nagmen cukup untuk membeli nasi pada siang itu, setelah ia mengeluarkan uang itu ia hanya melihat uang itu terkumpul hanya Rp 2000,00, perasaan sedih itu muncul kembali, ia berfikir mana cukup uang Rp 2000,00 untuk makan hingga malam. Kemudian Shandi mengurungkan niat untuk membeli nasi, dan akhirnya ia hanya membeli sepotong roti yang seharga Rp 500,00. Dengan lahapnya Shandi memakan roti itu, namun ia merasakan bahwa tenggorokanya kering, kemudian ia segera meminta minum kepada salah seorang pedagang nasi. Shandi merasakan bersyukur karena pedagang nasi itu memberikan segelas air putih. Kemudian ia melanjutkan perjalanan untuk mencari rezeki, seperti biasa kemampuanya hanya bisa bernyanyi itu pun ia belajar dengan otodidak. Shandi terus berjalan menuju lampu merah yang berada di seberang pedagang nasi tersebut, kebetulan pada saat itu lampu lalu lintas menunjukan tanda merah, dengan gesitnya remaja itu lari untuk menuju lampu merah tersebut.
Pada saat Shandi telah tiba tepat didepan lampu merah, anak-anak jalanan yang lain sudah langsung beraksi untuk memainkan gitar mereka masing-masing, seperti biasa hal itu mereka lakukan untuk dapat membeli sesuap nasi. Shandi pun dengan langkah kaki yang begitu gesit tiba disebuah mobil sedan yang berwarna merah mengkilap, kemudian Shandi menyanyikan sebuah lagu dengan judul lagu
Ujung Tahun Lemah Gempal”
Di penghujung tahun yang penuh air mata
Di penghujung tahun yang penuh nestapa
Di penghujung tahun yang penuh angkara
Kubernyanyi di siang hari
Selamat datang istana yang angkuh berdiri
Selamat tinggal ilalang yang punya arti
Selamat jaya tugumuda kalungi medali
Kubertanya pada sang matahari
Ada apakah di dalam istanamu
Terpikirkah nasib bocah di depanmu
hanguskah ilalang yang tak mengganggu
Benarkah tugumuda masih bersahabat
            Tak lama kemudian, pemilik mobil membuka jendela mobil itu dengan perlahan dan mengulurkan uang sebesar Rp 20.000,00. Seketika itu juga Shandi merasakan syukur yang begitu besar kepada Tuhan, betapa bahagianya remaja itu, hingga senyum yang merebah di bibirnya tak henti-hentinya. Shandi merasakan kebahagian yang sangat jarang ia rasakan. Tiba-tiba senyum itu terhenti ketika salah seorang teman Shandi menegurnya.
            “Shandi...kau kenapa dari tadi aku perhatikan kau seperti sedang bahagia?” sahut Tino.
            “Iya Tino, hari ini aku sangat bahagia karena usahaku ngamen lumayan banyak dapatnya” jawab Shandi sambil tersenyum kembali.
            “Wah memangnya kau dapat berapa ?” tanya Tino.
            “Alhamdullilah aku dapat Rp 20.000,00” jawab Shandi.
            “Wah pasti senang ya kamu, terus semangat kawan!” sahut Tino menyemangati Shandi.
            “Makasih banyak kawan, kamu udah memberikan semangat buat aku” tungkas Shandi.
            “Iya sama-sama, aku mau melanjutkan perjalanan dulu ya kawan” jawab Tino.
            “Oke, hati-hati ya kawan jangan lupa akan mimpi kita, karena suatu saat nanti cahaya itu pasti akan datang” Shandi mengakhiri percakapanya pada siang hari itu.
            Jam semakin berputar, seiring dengan berubahnya menit detik pun semakin berputar. Tak terduga hari sudah senja dan saatnya untuk Shandi dan teman-temanya kembali ke rumah mereka, sebenarnya rumah itu tak layak untuk disebut sebagai rumah, karena bangunan itu terbuat dari kardus yang dilapisi kayu bekas ditambah dengan lem. Sehingga pada saat hujan tiba, rumah itu mengalami kebocoran. Anak-anak jalanan sudah terbiasa dengan keadaan itu, mereka  sangat mensyukuri walaupun menurut mereka hal itu sungguh pahit, namun mereka jalani dengan ikhlas dan rasa syukur kepada Tuhan. Mereka percaya dan yakin bahwa impian mereka suatu saat nanti akan terwujud untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Adzan magrib telah tiba, seluruh anak-anak jalanan mengambil air wudhu dan mereka segera melaksanakan sholat magrib. Setelah mereka selesai melaksanakan sholat, seperti biasanya mereka mengaji. Hingga waktu isya tiba mereka tetap semangat walaupun keadaan yang dirasakan sungguh pahit, namun mereka menerimanya dengan ikhlas.
            Suara jangkrik semakin terdengar keras, hembusan angin yang begitu perlahan ditambah dengan udara yang semakin dingin menembus tulang rusuk melewati bangunan dimana tempat anak-anak jalanan berteduh setiap harinya. Bangunan yang terbuat dari kardus dilapisi koran bekas berubah dingin, hingga Shandi merasakan dingin yang luar biasa, namun mereka tak memiliki selimut tak memiliki tempat tidur. Selimut yang mereka gunakan terbuat dari Kardus, itulah teman mereka tidur, sebuah kardus bekas yang digunakan sebagai selimut maupun sebagai tempat tidur. Terkadang mereka tak tidur di rumah kardus tersebut melainkan mereka tertidur di ruko-ruko pinggir jalan, hanya itulah yang mereka mampu lakukan. Mereka tak mampu melakukan lebih dari itu, dikarenakan keterbatasan yang mereka miliki.
            Suara burung berkicauan menandakan waktu pagi, seperti biasa Shandi dan teman-temanya bersiap siap untuk mencari rezeki. Shandi segera mengambil gitar tuanya kemudian berharap hari itu ia akan mendapat keberuntungan kembali. Semua itu ia lakukan dengan semangat baru walaupun terkadang lelah menerpanya namun tak membuat semangat itu pudar. Ketika Shandi mengingat akan adanya cahaya suatu hari nanti dimana cahaya tersebut yang akan meruah nasib Shandi maka semangat itu akan terus bertambah dan tumbuh bahkan semakin kuat. Semua kehidupan butuh perjuangan dan butuh pengorbanan, ketika seseorang dapat melakukam suatu pekerjaan yang didasari dengan cinta dan kasih maka pekerjaan itu akan mudah terasa dijalankan. Karena impian pasti akan terwujud dikarenakan kerja keras dan pengorbanan yang besar.
            Pagi itu, Shandi melangkahkan kakinya kembali dengan penuh semangat baru. Ketika ia membuka sebuah buku catatan dan ternyata catatan itu sebuah catatan anak negeri yang tak tertulis namanya disana dan catatan itu bertuliskan :
“Satu Rasa”
Aku kamu dan mereka kita bersaudara
Satu hati satu rasa walau kita ada di jalan
Petik gitar dan nyanyikan syair lagu kehidupan
Dalam hati ada janji melangkah pasti hidup mandiri
Lihatlah saudara kita tanpa sandang berjalan
Lihatlah saudara kita tunggu hari tanpa makan
Dihimpit ketakutan tanpa daya terbelenggu
Adakah masa depan yang cerah bagi saudara-saudara kita
Adakah seberkas cahaya bagi mereka disana
Kan tegakah melihat saudara kita hidup menderita
Adakah hati yang bicara ulurkan tangan bantulah sesama
            Catatan itu seolah memberikan arti yang bermakna bagi kita sebagai manusia yang diwajibkan untuk menolong sesama. Shandi seketika itu juga terdiam, dan berharap hari itu akan menjadi hari yang sangat bermakna bagi dirinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, semua itu bisa saja terjadi atas kehendak Tuhan. Shandi melangkahkan kakinya ditemani sandal yang sudah bolong, kemudian ia menyusuri jalanan dengan perasaan tak karuan.
            Tiba-tiba saja seseorang menghampirinya, dengan sebuah pertanyaan yang menjadi impian Shandi.
            “Dek, kamu dari mana? Kamu kerja ngamen ya? Masih sekolah?” seorang laki-laki dengan wajah berseri mananyakan hal itu kepada Shandi.
            “Aku dari  Mataram, iya kak, udah ndak sebetulnya aku ingin sekolah kak tapi apalah daya tangan tak sampai aku hanya bisa melihat orang-orang bersekolah” jawab Shandi.
            “Oh..begitu dek, kalau begitu aku mau membantumu dek untuk melanjutkan sekolah, supaya kamu bisa mencapai cita-cita kamu” tutur seseorang itu.
            “Benarkah? Apakah kaka tidak sedang becanda?” Shandi menanggapi dengan wajah tidak percaya.
            “Iya dek, oke deh aku akan memberimu biaya untuk melanjutkan sekolah kamu” jawab seseorang itu.
            “Wah terima kasih banyak kak” jawab Shandi mengakhiri.
            Pagi itu terasa seperti mimpi bagi Shandi, semua itu berjalan tanpa disadari Shandi. Shandi masih tak menyangka akan kejadian yang dialaminya pagi itu. Segeralah Shandi sujud syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan, semua itu berjalan dengan sangat cepat. Impian yang selama ini ada dalam benaknya telah terwujud. Shandi dapat melanjutkan sekolah kembali, dan ia dapat meraih impiannya di kemudian hari. Menurutnya cahaya itu masih ada walaupun terkadang ia berfikir bahwa cahaya itu tak akan pernah datang namun ternyata sebaliknya cahaya itu datang, dan anugrah itu sangat ia syukuri. Ia berharap suatu hari nanti akan mendapatkan cahaya yang lebih terang, dan dapat mewujudkan impiannya menjadi orang sukses dikemudian hari.

No comments:

Post a Comment