Terik panas matahari siang itu tak membuat remaja berusia
13 tahun putus asa, ia begitu percaya diri dan begitu yakin bahwa hari itu ia
akan mendapatkan keberuntungan. Langkah kaki yang begitu semangat memberikan
cerita baru bagi sebagian anak jalanan yang ada di Mataram. Kisah ini kisah
seorang anak jalanan yang memiliki semangat yang tinggi untuk meraih cita-cita
berbagai rintangan ia lewati dengan rasa syukur. Menjadi seorang anak remaja yang tidak memiliki tempat tinggal dan
tidak memiliki orang tua membuat remaja itu harus mampu untuk menanggung segala
penderitaan hidup yang dialaminya. Sebut saja nama remaja itu Shandi. Shandi
yang setiap harinya bekerja sebagai pengamen jalanan, membuat dirinya harus
siap untuk menerima segala resiko yang akan terjadi. Karena setiap hidup
manusia memiliki tantangan masing-masing. Dan ini adalah tantangan hidup
seorang anak jalanan yang seharusnya mereka merasakan kasih sayang orang tua
akan tetapi mereka merasakan begitu kejamnya dunia.
Setiap harinya Shandi ditemani oleh teman akrabnya yaitu
sebuah gitar tua, gitar itu ia dapatkan dari seorang temanya. Bagi Shandi gitar
tua itu sangat berarti karena dengan gitar itu ia mampu untuk makan setiap
harinya. Apalah daya tangan tak sampai. Keinginan Shandi untuk melanjutkan
sekolah tak mampu ia wujudkan, karena terhalang oleh keadaan yang ada. Remaja
yang berusia 13 tahun harusnya dapat mengenyam pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi, hanya impian belaka. Jangankan mengenyam pendidikan, biaya untuk makan
saja masih sangat sulit. Matahari itu membuat suasana jalanan semakin panas
ditambah dengan polusi udara yang tak terkendali, mobil dan motor melewati
jalanan yang semakin hari semakin bertambah banyak jumlah motor dan mobil
dengan desaign yang begitu modern.
“ Hai.. Shandi, kau akan ngamen dimana lagi
sekarang?”tiba-tiba seseorang menghampiri Shandi dengan gaya punk, yang tak
lain teman seperjuangan Shandi yang bernama Tino.
“ Tak tau lagi aku harus kemana, semua jalanan telah
kujajali namun hanya sedikit orang yang peduli, mereka tak mengetahui betapa
pilunya kita yang setiap hari mencari rezeki hanya dengan kemampuan seadanya”,
tutur Shandi dengan wajah sedih.
“ Sudahlah kawan hadapilah, ini tantangan buat kita,
setiap manusia tak selamanya sama kehidupannya adakalanya manusia diatas dan
adakalanya pula manusia dibawah, terimalah dengan rasa syukur atas anugrah
Tuhan” sahut Tino dengan bijak.
“ Iya kawan aku mengerti, tak apalah kita seperti ini,
suatu hari nanti kita pasti akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, selama
kita terus bersyukur atas anugrah Tuhan” jawab Shandi.
“Iya sudah kawan, kalau begitu aku mau menjajakan koran
ini kembali kepada para pengguna jalan, kau hati-hati ya” tungkas Tino.
“ Iya kawan, terima kasih atas kebaikanmu, aku juga akan
pergi dengan sahabatku ini, gitar tua yang selama ini menemaniku kemanapun
kakiku melangkah” Shandi mengakhiri percakapan pada siang itu.
Kemudian Shandi melanjutkan pekerjaanya sebagai seorang
pengamen, tepat pada saat itu lampu lalu lintas menunjukan tanda merah seketika
itu pula ia melangkahkan kakinya dengan cepat berharap saat itu ia memperoleh
hasil yang cukup untuk makan pada malam harinya. Langkah yang begitu cepat dengan
dilapisi sandal jepit yang sudah bolong, tak membuat Shandi putus asa untuk
terus mencari rezeki pada siang itu. Pertama didatanginya mobil yang berada
tepat didepan lampu merah tersebut, dan Shandi pun bernyanyi sambil memetik
gitar tuanya. Tak disangka ketika ia mengulurkan tanganya ternyata pemilik
mobil itu tak memberikan uang sedikit pun, dan Shandi melihat didalam mobil itu
terdapat anak yang seumuran dengan dia, anak itu sedang asik memegang ipad
sambil mendengarkan musik. Ironis memang, keadaan itu membuat Shandi semakin
sedih, padahal Shandi hanya ingin mencari uang untuk makan malam saja, tak
apalah mereka memberinya uang hanya Rp 500,00 atau berapa pun mereka ikhlas,
akan tetapi hal tersebut tak terjadi. Shandi tak mendapatkan sepeser uang pun
dari pengguna mobil tersebut. Namun hal tersebut tak membuat semangatnya turun,
ia semakin bersemangat lagi untuk mengais rezeki. Kemudian Shandi pun menunggu
lampu merah selanjutnya, seperti biasa ia menyanyikan lagu anak jalanan. Namun
kali ini berbeda, kali ini ia mendapatkan rezeki walaupun hanya Rp. 500,00 ia
sudah sangat bersyukur.
Tak terasa adzan dzuhur berkumandang menandakan waktu
sholat, kebetulan lampu merah itu sangat dekat dengan masjid, seketika itu juga
Shandi berjalan menuju masjid untuk melaksanakan sholat. Shandi berjalan menuju
tempat wudhu dan langsung mengambil air wudhu kemudian melaksanakan sholat.
Dalam doa Shandi merasakan syukur atas karunia yang diberikan oleh Tuhan.
Kemudian Shandi melangkah kan kakinya kembali untuk mencari rezeki, dengan
perasaan tenang. Langkah kakinya semakin memberikan cerita baru bagi seorang
anak jalanan yang menjalani hidupnya dengan mandiri. Perutnya telah berbunyi
menandakan ia sangat lapar karena dari pagi ia tak pernah merasakan sesuap
nasi. Dirabanya kantung celananya mengharapkan uang hasil nagmen cukup untuk
membeli nasi pada siang itu, setelah ia mengeluarkan uang itu ia hanya melihat
uang itu terkumpul hanya Rp 2000,00, perasaan sedih itu muncul kembali, ia
berfikir mana cukup uang Rp 2000,00 untuk makan hingga malam. Kemudian Shandi
mengurungkan niat untuk membeli nasi, dan akhirnya ia hanya membeli sepotong
roti yang seharga Rp 500,00. Dengan lahapnya Shandi memakan roti itu, namun ia
merasakan bahwa tenggorokanya kering, kemudian ia segera meminta minum kepada
salah seorang pedagang nasi. Shandi merasakan bersyukur karena pedagang nasi
itu memberikan segelas air putih. Kemudian ia melanjutkan perjalanan untuk
mencari rezeki, seperti biasa kemampuanya hanya bisa bernyanyi itu pun ia
belajar dengan otodidak. Shandi terus berjalan menuju lampu merah yang berada
di seberang pedagang nasi tersebut, kebetulan pada saat itu lampu lalu lintas
menunjukan tanda merah, dengan gesitnya remaja itu lari untuk menuju lampu
merah tersebut.
Pada saat Shandi telah tiba tepat didepan lampu merah, anak-anak jalanan
yang lain sudah langsung beraksi untuk memainkan gitar mereka masing-masing,
seperti biasa hal itu mereka lakukan untuk dapat membeli sesuap nasi. Shandi
pun dengan langkah kaki yang begitu gesit tiba disebuah mobil sedan yang
berwarna merah mengkilap, kemudian Shandi menyanyikan sebuah lagu dengan judul
lagu
“Ujung
Tahun Lemah Gempal”
Di penghujung tahun yang penuh air mata
Di penghujung tahun yang penuh nestapa
Di penghujung tahun yang penuh angkara
Kubernyanyi di siang hari
Di penghujung tahun yang penuh nestapa
Di penghujung tahun yang penuh angkara
Kubernyanyi di siang hari
Selamat
datang istana yang angkuh berdiri
Selamat tinggal ilalang yang punya arti
Selamat jaya tugumuda kalungi medali
Kubertanya pada sang matahari
Selamat tinggal ilalang yang punya arti
Selamat jaya tugumuda kalungi medali
Kubertanya pada sang matahari
Ada apakah di dalam istanamu
Terpikirkah nasib bocah di depanmu
hanguskah ilalang yang tak mengganggu
Benarkah tugumuda masih bersahabat
Terpikirkah nasib bocah di depanmu
hanguskah ilalang yang tak mengganggu
Benarkah tugumuda masih bersahabat
Tak
lama kemudian, pemilik mobil membuka jendela mobil itu dengan perlahan dan
mengulurkan uang sebesar Rp 20.000,00. Seketika itu juga Shandi merasakan
syukur yang begitu besar kepada Tuhan, betapa bahagianya remaja itu, hingga
senyum yang merebah di bibirnya tak henti-hentinya. Shandi merasakan kebahagian
yang sangat jarang ia rasakan. Tiba-tiba senyum itu terhenti ketika salah
seorang teman Shandi menegurnya.
“Shandi...kau
kenapa dari tadi aku perhatikan kau seperti sedang bahagia?” sahut Tino.
“Iya
Tino, hari ini aku sangat bahagia karena usahaku ngamen lumayan banyak
dapatnya” jawab Shandi sambil tersenyum kembali.
“Wah
memangnya kau dapat berapa ?” tanya Tino.
“Alhamdullilah
aku dapat Rp 20.000,00” jawab Shandi.
“Wah
pasti senang ya kamu, terus semangat kawan!” sahut Tino menyemangati Shandi.
“Makasih
banyak kawan, kamu udah memberikan semangat buat aku” tungkas Shandi.
“Iya
sama-sama, aku mau melanjutkan perjalanan dulu ya kawan” jawab Tino.
“Oke,
hati-hati ya kawan jangan lupa akan mimpi kita, karena suatu saat nanti cahaya
itu pasti akan datang” Shandi mengakhiri percakapanya pada siang hari itu.
Jam
semakin berputar, seiring dengan berubahnya menit detik pun semakin berputar.
Tak terduga hari sudah senja dan saatnya untuk Shandi dan teman-temanya kembali
ke rumah mereka, sebenarnya rumah itu tak layak untuk disebut sebagai rumah,
karena bangunan itu terbuat dari kardus yang dilapisi kayu bekas ditambah
dengan lem. Sehingga pada saat hujan tiba, rumah itu mengalami kebocoran.
Anak-anak jalanan sudah terbiasa dengan keadaan itu, mereka sangat mensyukuri walaupun menurut mereka hal
itu sungguh pahit, namun mereka jalani dengan ikhlas dan rasa syukur kepada
Tuhan. Mereka percaya dan yakin bahwa impian mereka suatu saat nanti akan
terwujud untuk menjadi orang sukses dikemudian hari. Adzan magrib telah tiba,
seluruh anak-anak jalanan mengambil air wudhu dan mereka segera melaksanakan
sholat magrib. Setelah mereka selesai melaksanakan sholat, seperti biasanya
mereka mengaji. Hingga waktu isya tiba mereka tetap semangat walaupun keadaan
yang dirasakan sungguh pahit, namun mereka menerimanya dengan ikhlas.
Suara
jangkrik semakin terdengar keras, hembusan angin yang begitu perlahan ditambah
dengan udara yang semakin dingin menembus tulang rusuk melewati bangunan dimana
tempat anak-anak jalanan berteduh setiap harinya. Bangunan yang terbuat dari
kardus dilapisi koran bekas berubah dingin, hingga Shandi merasakan dingin yang
luar biasa, namun mereka tak memiliki selimut tak memiliki tempat tidur.
Selimut yang mereka gunakan terbuat dari Kardus, itulah teman mereka tidur,
sebuah kardus bekas yang digunakan sebagai selimut maupun sebagai tempat tidur.
Terkadang mereka tak tidur di rumah kardus tersebut melainkan mereka tertidur
di ruko-ruko pinggir jalan, hanya itulah yang mereka mampu lakukan. Mereka tak
mampu melakukan lebih dari itu, dikarenakan keterbatasan yang mereka miliki.
Suara
burung berkicauan menandakan waktu pagi, seperti biasa Shandi dan teman-temanya
bersiap siap untuk mencari rezeki. Shandi segera mengambil gitar tuanya
kemudian berharap hari itu ia akan mendapat keberuntungan kembali. Semua itu ia
lakukan dengan semangat baru walaupun terkadang lelah menerpanya namun tak
membuat semangat itu pudar. Ketika Shandi mengingat akan adanya cahaya suatu
hari nanti dimana cahaya tersebut yang akan meruah nasib Shandi maka semangat
itu akan terus bertambah dan tumbuh bahkan semakin kuat. Semua kehidupan butuh
perjuangan dan butuh pengorbanan, ketika seseorang dapat melakukam suatu
pekerjaan yang didasari dengan cinta dan kasih maka pekerjaan itu akan mudah
terasa dijalankan. Karena impian pasti akan terwujud dikarenakan kerja keras
dan pengorbanan yang besar.
Pagi
itu, Shandi melangkahkan kakinya kembali dengan penuh semangat baru. Ketika ia
membuka sebuah buku catatan dan ternyata catatan itu sebuah catatan anak negeri
yang tak tertulis namanya disana dan catatan itu bertuliskan :
“Satu Rasa”
Aku kamu
dan mereka kita bersaudara
Satu hati satu rasa walau kita ada di jalan
Petik gitar dan nyanyikan syair lagu kehidupan
Dalam hati ada janji melangkah pasti hidup mandiri
Lihatlah saudara kita tanpa sandang berjalan
Lihatlah saudara kita tunggu hari tanpa makan
Dihimpit ketakutan tanpa daya terbelenggu
Satu hati satu rasa walau kita ada di jalan
Petik gitar dan nyanyikan syair lagu kehidupan
Dalam hati ada janji melangkah pasti hidup mandiri
Lihatlah saudara kita tanpa sandang berjalan
Lihatlah saudara kita tunggu hari tanpa makan
Dihimpit ketakutan tanpa daya terbelenggu
Adakah
masa depan yang cerah bagi saudara-saudara kita
Adakah seberkas cahaya bagi mereka disana
Kan tegakah melihat saudara kita hidup menderita
Adakah hati yang bicara ulurkan tangan bantulah sesama
Adakah seberkas cahaya bagi mereka disana
Kan tegakah melihat saudara kita hidup menderita
Adakah hati yang bicara ulurkan tangan bantulah sesama
Catatan
itu seolah memberikan arti yang bermakna bagi kita sebagai manusia yang
diwajibkan untuk menolong sesama. Shandi seketika itu juga terdiam, dan
berharap hari itu akan menjadi hari yang sangat bermakna bagi dirinya. Tidak
ada yang tidak mungkin di dunia ini, semua itu bisa saja terjadi atas kehendak
Tuhan. Shandi melangkahkan kakinya ditemani sandal yang sudah bolong, kemudian
ia menyusuri jalanan dengan perasaan tak karuan.
Tiba-tiba
saja seseorang menghampirinya, dengan sebuah pertanyaan yang menjadi impian
Shandi.
“Dek,
kamu dari mana? Kamu kerja ngamen ya? Masih sekolah?” seorang laki-laki dengan
wajah berseri mananyakan hal itu kepada Shandi.
“Aku
dari Mataram, iya kak, udah ndak
sebetulnya aku ingin sekolah kak tapi apalah daya tangan tak sampai aku hanya
bisa melihat orang-orang bersekolah” jawab Shandi.
“Oh..begitu
dek, kalau begitu aku mau membantumu dek untuk melanjutkan sekolah, supaya kamu
bisa mencapai cita-cita kamu” tutur seseorang itu.
“Benarkah?
Apakah kaka tidak sedang becanda?” Shandi menanggapi dengan wajah tidak
percaya.
“Iya
dek, oke deh aku akan memberimu biaya untuk melanjutkan sekolah kamu” jawab seseorang
itu.
“Wah
terima kasih banyak kak” jawab Shandi mengakhiri.
Pagi
itu terasa seperti mimpi bagi Shandi, semua itu berjalan tanpa disadari Shandi.
Shandi masih tak menyangka akan kejadian yang dialaminya pagi itu. Segeralah
Shandi sujud syukur atas karunia yang telah diberikan oleh Tuhan, semua itu
berjalan dengan sangat cepat. Impian yang selama ini ada dalam benaknya telah
terwujud. Shandi dapat melanjutkan sekolah kembali, dan ia dapat meraih
impiannya di kemudian hari. Menurutnya cahaya itu masih ada walaupun terkadang
ia berfikir bahwa cahaya itu tak akan pernah datang namun ternyata sebaliknya
cahaya itu datang, dan anugrah itu sangat ia syukuri. Ia berharap suatu hari
nanti akan mendapatkan cahaya yang lebih terang, dan dapat mewujudkan impiannya
menjadi orang sukses dikemudian hari.
No comments:
Post a Comment